Postingan

Pelangi Setelah Hujan

Di bawah langit sore yang mulai memerah, Aditya melangkah menuju stasiun kereta tua di pinggiran kota. Sebuah tiket dalam genggamannya, bukan sekadar tiket perjalanan, melainkan pintu menuju masa lalu yang begitu ia rindukan. Stasiun ini, dengan aroma khas kayu tua dan debu yang sudah tercium sejak ia masih kecil, membawa ingatannya kembali pada masa-masa yang takkan pernah bisa ia lupakan. Lima belas tahun lalu, di stasiun inilah ia pertama kali bertemu dengan Alya, cinta pertamanya. Mereka masih remaja kala itu, bersekolah di SMA yang sama, dan kebetulan selalu pulang dengan kereta yang sama. Perjumpaan demi perjumpaan di stasiun ini menumbuhkan benih-benih cinta yang perlahan tumbuh dalam hati Aditya. "Apa kabar, stasiun tua?" gumam Aditya dengan senyuman kecil di bibirnya. Ia berjalan menyusuri peron, membayangkan sosok Alya yang dulu selalu duduk di bangku kayu dekat tiang lampu. Bangku itu masih ada, meski sudah tampak usang dan berdebu. Aditya duduk di sana, menutup ma

Senja di Pelabuhan

 Di ujung timur kota kecil itu, terhamparlah pelabuhan kecil yang tenang. Seiring senja yang mulai merayap, cahaya emas memantul di permukaan air, menciptakan panorama yang memesona. Di sini, sering kali terdengar suara burung camar yang melengking riang, sementara perahu nelayan terdampar dengan santainya di tepi dermaga. Namun, hari ini ada yang berbeda. Di antara keheningan senja, terlihatlah sosok perempuan muda duduk di ujung dermaga. Rambut cokelatnya tergerai lembut diterpa angin senja yang sepoi-sepoi. Namanya adalah Maya. Gadis itu sering datang ke sini untuk sekadar mengamati senja yang indah atau hanya untuk merenung. Maya adalah seorang seniman. Dia mengabdikan waktu luangnya untuk melukis pemandangan senja yang memukau, terutama di pelabuhan ini. Baginya, senja adalah waktu yang paling indah untuk mencatat keindahan alam dengan kuas dan catnya. Sementara Maya sibuk dengan lukisannya, di ujung lain dermaga, ada seorang pria yang berdiri memandangnya dari kejauhan. Namanya a